makassar
terus bersolek mencoba mempercantik dirinya mencoba memupuk dan mewujudkan
mimpi besarnya. Kehadiran berbagai sarana dan prasarana terus dinantikan
masyarakat..
terlepas
dari itu semua mari kita sedikit manganalisis darimanakah mega proyek ataupun
infrastruktur yang hadir di kota kita yang tercinta ini berasal. sedikit
mengambil contoh dengan apa yang terjadi di pesisir barat pantai makassar
dimana disana sini terjadi penimbunan laut dengan dalih izin reklamasi pantai
dari pemerintah. Keindahan pantai losari yang memukau banyak orang dan kondisi
di sekitarnya yang juga mulai terlihat
laut mulai di timbun, timbul sebuah pertanyaan
darimanakah asal dari tanah timbunan ataupun bahan-bahan penimbun lainnya
seperti batu gunung dan batu kali di tempat itu ?
semua
itu berasal dari kab.Gowa tepatnya di sebuah kecamatan di wilayah kabupaten
tersebut bernama kecamatan Pattalassang dan kecamatan Parangloe di dua wilayah inilah dimana bukit-bukit di keruk yang
dulunya lahan berkebun bagi sebagian besar warga kini dijadikan sebagai tempat
menambang untuk kepentingan pembangunan di makassar yang semakin masive
kawasan
malino yang dulunya ramai di kunjungi kini perlahan berkurang pamornya di
karenakan jalan utama menuju kawasan tersebut harus melalui wilayah 2 kecamatan
ini yang kondisi jalannya banyak yang berlubang di karenakan truk-truk yang
melebihi batas muatan maksimal terus melintasi jalan tersebut, belum lagi
dengan debu-debu yang ditimbulkan dari kendaraan roda sepuluh itu.
Tak
peduli dengan kondisi tersebut pembangunan di kota makassar semakin hari
semakin masive saja tanpa memperdulikan AMDAL (analisis mengenai dampak
lingkungan) pembangunan berlandaskan
lingkungan yang terjaga hanya slogan,retorika, dan isapan jempol belaka
sementara masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bertani ataupun berkebun
harus memutar otak untuk mencari alternatif usaha untuk menyambung kehidupan keluarganya..
Warga sekitar adalah pihak yang paling
merasakan dampak buruk dari kondisi ini yang dimana seharusnya masyarakat
sekitarlah yang harusnya merasakan manfaat dari kemunculan tambang-tambang
pasir dan berbagai bentuk eksploitasi sumber daya alam (SDA)
Belum
lagi dampak buruk untuk lingkungan yang
ditimbulkan oleh munculnya tambang tersebut..
bukit-bukit
bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja setelah tempat tersebut dianggap
tidak lagi produktif tanpa ada reboisasi tanpa ada recovery lahan sama sekali
untuk mengembalikan fungsi lahan menjadi seperti semula atau setidaknya
meminimalisir kemungkinan bencana alam yang akan ditimbulkan oleh lahan bekas
garapan tambang , bencana alam atau dampak buruk yang paling mungkin timbul dari
kondisi ini adalah tanah longsor, banjir ataupun erosi tanah.
(*kondisi salah satu tambang yang sudah non aktif)
Seperti
yang dapat kita amati dengan sangat jelas jika melintas di salah satu ruas jalan
penghubung antara kecamatan pattalassang & kecamatan Parangloe di wilayah
ini terlihat jelas bekas tambang aktif yang sudah ditinggalkan. Oleh masyarakat
hal ini hanya bisa diterima dengan legowo , mirisnya lagi lokasi ini sangat
dekat dengan pemukiman warga, idealnya lokasi tambang harus berada jauh dari
pemukiman warga bukan tidak mungkin longsoran yang ditimbulkan dari bekas
tambang tersebut dapat menimbun rumah-rumah dan bangunan lain yang ada di
sekitar objek tersebut.Apalagi mengingat di wilayah ini curah hujan cukup
tinggi.
Hj.niasa salah satu warga yang sudah sangat lama menetap di sekitaran
wilayah tambang tersebut menuturkan betapa sulitnya warga sekitar mencari
nafkah penghidupan jika hanya terus bergantung dan mengandalkan pekerjaan
mereka yang lama padahal dulunya mereka merasa berkecukupan dalam urusan
pemenuhan sandang pangan dan papan
Warga yang menetap di jl.malino,pakatto
kab.Gowa ini mengatakan dulunya
sebelum truk-truk banyak yang lalu lalang di lokasi itu kedainya ramai di
kunjungi oleh pengguna jalan umumnya mereka mampir setelah pulang berwisata di
kawasan malino kab.Gowa memang kedainya tidak menjual bermacam – macam barang
karena kedai ini Cuma sebagai penghasilan tambahan umumnya masyarakat sekitar
bekerja mencari nafkah dengan bertani ataupun berkebun. Meskipun begitu kedai
ini cukup membantu untuk menambah keuangan keluarga, kedai Hj.niasa hanya menjual jagung rebus yang di bumbui oleh sambel garam dan
cemilan khas BUGIS-MAKASSAR “kareppe” begitu orang makassar
menyebutnya cemilan semacam kerupuk yang diberi tetesan gula merah diatasnya dan
terbuat dari singkong rebus yang di keringkan berbentuk padat dan pipih.
dengan dialek makassar yang kental ia bertutur bahwa
sekarang kedainya tak lagi banyak di singgahi oleh pengguna jalan seperti
dahulu
“kamma kamma anne langkarami tau ammali se,re
rua mami antu battu” ia
kembali bertutur masih dengan aksen makassarnya yang begitu kental
“jai sikali alimbubu antu tolongna jai ammalo
oto sampulo rodayya teami sengka tawwa”
(debu begitu banyak
semenjak banyak mobil sepuluh roda yang lalu lalang orang-orang tak mau lagi
singgah).
Hj.niasa hanya satu dari banyak warga yang
merasakan hal ini, masih banyak warga lainnya yang merasakan hal serupa, dan
ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. jika warga RIAU yang ada di sumatera
sana mengeluh dengan kabut asap akibat pembakaran lahan dan pembakaran hutan
yang mengganggu pernapasan mereka yang setiap tahun harus mereka rasakan,
bagaimana dengan orang-orang seperti Hj.niasa yang setiap hari harus menghirup debu pekat yang berasal dari
kendaraan sepuluh roda (truk sepuluh roda *red*) maka tidak berlebihan rasanya
jika mereka mengeluh dengan kondisi ini,
bagi mereka bersabar dan menerima apa yang terjadi adalah jalan terbaik
mereka sadar mereka tidak punya daya jika harus melawan pemodal besar yang
berdompet tebal, mereka bukannya rela melihat tanah kelahirannya berubah begitu
cepat tapi kekuatan mereka begitu lemah jika harus diadu dengan pemilik tambang
yang bermodal besar .
Indikasi
rusaknya lingkungan dan alam sekitar di kawasan ini sebenarnya sudah sejak lama
nampak tapi entah kenapa berbagai pihak seakan menutup mata dengan hal ini, ini
terlihat dari longsornya gunung bawakaraeng yang terjadi sekitar awal tahun
2004 bencana ini di taksir menimbulkan kerugian senilai 22 milyar rupiah Kerugian terbesar berasal dari
tertimbunnya sedikitnya 270 hektare perkebunan rakyat yang ditaksir sekitar Rp
10,08 miliar. bencana
itu telah menyebabkan terkuburnya 800 ekor ternak, 12 unit rumah, satu sekolah dasar, 160
hektare persawahan, 160 hektare tanaman persawahan, 270 hektare areal
perkebunan, 300.000 bibit pohon, jalan desa sepanjang 3.000 meter, dan satu
masjid. Menurut
rilis www.tempo.co.id edisi 29 maret 2004 sedikitnya ada 60 KK yang kehilangan
tempat tinggal serta 30 warga yang hilang diperkirakan tewas tertimbun
longsoran tanah karna desa mereka desa
lengkese ,malino kab.Gowa tertimbun
tanah setebal 500 meter. Hingga kini
erosi tanah masih terus terjadi di punggung gunung Bawakaraeng di perkirakan
masih ada sisa longsoran sebesar 22 ton yang belum sempat terbawa oleh aliran
air sungai jeneberang
Sepertinya memang kita harus lebih bijak dan
lebih peka melihat kemungkinan kerusakan lingkungan di sekitar kita apalagi
terkadang isu lingkungan di anggap sebagai sesuatu yang enteng-enteng saja
remeh dan kurang mendapat perhatian oleh sebagian besar orang. Seperti yang
terjadi di wilayah Pattalassang & Parangloe , bagi sebagian orang ini sama
sekali tidak penting toh mereka juga bukan pihak yang terdampak langsung.
Selama ini memang selain menjadi suplier
utama sayur-mayur ke Makassar, kab.Gowa juga menopang kebutuhan oksigen yang ada di Makassar
bagaimana tidak karna sebagian besar produksi oksigen dihasilkan dari hutan
lindung di kawasan Malino, seiring dengan berkurangnya pepohonan di
wilayah-wilayah kaki gunung yang ada di
kawasan Malino maka terkadang masyarakat berujar dan berkelakar kalau “malino tak sedingin dulu lagi” tentunya
ini tidak terlepas dari berbagai faktor terutama faktor pembukaan lahan baru
untuk dijadikan lahan tambang,
Selain menjadi salah satu penopang kebutuhan
sayur-mayur maupun buah-buahan untuk kota Makassar kab.Gowa juga menyuplai
cadangan listrik untuk kota Makassar melalui pembangkit listrik tenaga air
(PLTA) bendungan bili-bili.
Bahkan ketika kita melihat dan meninjau dari sisi sejarah
sekalipun Makassar tak lain adalah ibu kota dari kerajaan imperium Gowa-tallo
di masa lalu yang kala itu masih bernama somba
opu sehingga Gowa & Makassar seperti dua sisi mata uang yang tak mungkin
untuk di pisahkan melihat fenomena yang terjadi dan dinamika yang berkembang di
masyarakat dalam konteks lingkungan dan pembangunan perkotaan serta hubungannya
dengan masyarakat sekitar bahkan lebih jauh lagi berkaitan dengan kearifan
lokal orang BUGIS-MAKASSAR yaitu “SIRI’ NA PACCE” sekali lagi kita harus lebih
bijak dan lebih bertanggung jawab dengan apa yang ada di sekitar kita
(*kondisi jalan rusak parah di salah satu ruas jl.malino Kab.Gowa)